Mayoritas ulama qira’at berpendapat bahwa rasm Usmani adalah satu bentuk dan bisa dibaca dengan berbagai macam bentuk bacaan dalam qiraat tujuh (Qiraat sab’ah). Namun ada perbedaan antara mushaf satu dengan yang lain. Perbedaan ini tentunya berdasarkan kesepakatan dan penyesuaian-penyesuaian.
Oleh karenanya, dalam ilmu Qira’at terdapat tiga syarat sebuah qiraat itu bisa diterima, pertama harus mutawatir sampai kepada rasulullah, kedua harus sesuai dengan logat orang Arab (Quraisy), dan ketiga harus sesuai dengan rasm Usmani.
Apabila ada qiraat yang tidak memenuhi tiga syarat tersebut, maka qiraat tersebut diklaim syadz/cacat oleh karenanya statusnya jadi mardud/ditolak.
Pertanyaan yang sering adalah: Lho bagaimana caranya satu bentuk tulisan itu bisa dibaca dengan berbagai bentuk bacaan?. Begini, harus dipahami bahwa Alquran ditulis pada zaman Rasulullah hingga Usman itu tanpa ada syakal/harakat dan titik.
Jadi kalau diperhatikan, kata misalnya ya’qiluun, bisa dibaca ta’qilun atau mungkin yu’aqqilun. Sebab ketiga kata tersebut jika ditulis bentuknya pasti sama ىعقلون (tanpa titik, qaf tanpa titik, nun juga tanpa titik). –cari font yang tanpa titik tidak nemu. Ini yang pertama.
Kedua, harus dipahami juga bahwa istilah tujuh macam qiraat (qiraah Sab’ah) itu tidak semua ayat/kalimat dalam Alquran bisa dibaca dengan tujuh bentuk yang selanjutnya diasosiasikan dengan imam-imam qiraat. Jadi tak perlu heran jika nanti ada perdebatan juga tentang istilah qira’at sab’ah itu identik dengan jumlah bacaannya, atau hanya kiasan saja bahwa tujuh bentuk itu hanya indikasi banyaknya macam qiraat.
Untuk menjawab pertanyaan bagaimana cara rasm Usmani mengakomodir tujuh bentuk bacaan, terdapat tiga hal yang juga harus dipahami.
Misalnya pada kata صِرَاط, يَبْصُط, المُصَيْطِرُوْن ketiga kata tersebut di dalam Rasm ditulis dengan shad, padahal bentuk kata aslinya adalah memakai sin. Oleh karenanya ada imam yang membaca dengan shad karena mengikuti rasm, ada juga imam yang membaca pakai sin dengan alasan mengukuhkan asli kata tersebut. Jika kita perhatikan pada Alquran cetakan sekarang, di atas kata shad pada lafaz-lafaz tersebut terdapat sin kecil.
Contoh lagi, pada surat Albaqarah ayat 219:
….. قل فيهما اِثْمٌ كًبِيْرٌ….
Pada kata kabiir, ada pula imam yang membaca Katsiir. Ingat, bahwa Rasm pertama ditulis tanpa titik. Jadi kata kabir dan katsir itu bentuk tulisannya sama jika tanpa titik, hanya saja jika sudah diberi titik pada huruf ba’ maka jadi berbeda membacanya. Namun Imam yang membaca Katsiir juga dibenarkan dan qiraatnya diterima.
Misalnya, menyesuaikan bacaan dengan rasm secara perkiraan (taqdiran). Biasanya ini terjadi pada bentuk kalimah jama’ muannats salim. Kata:
مسلمات, مؤمنات, البينات
Ketiga kata di atas, ulama sepakat jika ditulis maka membuang alif. Jadinya,
مسلمت, مؤمنت, البينت
Sebagai gantinya agar tidak terjadi salah membaca, maka diberikan tanda alif kecil di atas huruf yang seharus ditulis terdapat alifnya kerena dibaca panjang.
Namun jika terdapat satu kata yang mempunyai dua alif, ulama berbeda pendapat. Misal kata الصالحات, السماوات
Mayoritas ulama menghapus kedua alif tersebut, dan sebagian ulama membuang alif yang kedua saja.
Misalnya dalam Albaqarah ayat 132.
وَوَصّى بها ابرهيم…. Imam Ashim membaca demikian, namun Imam Nafi’, Ibn Amir, dan Abu Ja’far membaca dengan وأَوْصى sebab di mushafnya orang Syam memakai alif, sedangkan mushaf penduduk Kufah dan Basrah ditulis tanpa alif. Pada kasus yang sama juga terjadi dalam surat Ali Imran ayat 133. وسارعوا الى مغفرة من ربكم… Imam Nafi, Ibn Amir dan Abu Ja’far membaca tanpa waw, sedangkan yang lainnya membaca dengan menggunakan waw.
Dalam permisalan yang lebih kompleks lagi misalnya terjadi pada Almaidah ayat 54.
…. من يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِه… Imam Albaqun membaca demikian, namun Imam Nafi’, Ibn Amir dan Abu Ja’far membaca dengan mengembalikan huruf aslinya yakni يَرْتَدِد (terdapat dua dal, huruf dal pertama berharakat kasrah dan dal kedua berharakat sukun). Di sini terdapat perbedaan mushaf, Mushaf Madinah dan Syam ditulis memakai dua dal, sedangkan mushaf selain itu dengan satu dal.
Kedua cara menulis tersebut secara ilmu sharaf dibenarkan. Kata yartaddu berasal dari kata yartadidu, fi’il madhi aslinya irtatadada – yartadidu. Meringkas huruf yang sama dengan cara meng-idhghamkan huruf yang pertama kepada huruf yang kedua merupakan hal yang biasa dalam bahasa Arab.
Dari uraian singkat di atas, terdapat hal yang masih menaruh perhatian kita, bahwa ada perbedaan penulisan mushaf yang tersebar di berbagai daerah seperti Syam, Kufah, Baghdad, Makkah dan Madinah.
Penulis pernah menanyakan hal ini kepada Gus Baha, jawab beliau sederhana, kira-kira begini “Tak perlu berpikiran spekulatif tentang kemungkinan-kemungkinan penulisan mushaf di berbagai daerah, kita cukup mempelajari saja ilmu rasm tersebut dan dipahami untuk menguatkan keislaman kita.”
Referensi: Dr. Sya’ban Muhammad Ismail, Rasmul Mushaf wa Dhabtuhu baina at-tauqif wal istilahati al-haditsah, h. 21-34
Sumber : Institut Ilmu Al-Quran An-Nur